Modernis.co, Jateng — Sudah lumrah rakyat tidak lagi terperangah kaget, melihat pejabat tersandung korupsi. Berita ini sudah masuk kategori biasa-biasa saja, ini bukanlah kabar baik melainkan kabar buruk dan mengancam.
Ratusan pejabat, dari menteri, mantan menteri, anggota DPR hingga level provinsi DPRD maupun kota/kabupaten sama saja tidak ada bedanya, gubernur, walikota, bupati bahkan kepala desa sudah biasa di tangkapi oleh KPK, sejak KPK lahir di Republik Indonesia.
Tidak ada tanda- tanda efek jera yang mengindikasi insaf. Pelaku tindak pidana korupsi justru makin hari semakin menjadi-jadi. Sejak tahun 2009 hingga 2018 menguatkan hal ini. Jika pada tahun 2009 jumlah tindak pidana korupsi mencapai 45. Pada tahun berikutnya justru mengalami peningkatan menjadi 65. penurunan sempat terjadi pada tahun 2011 menjadi 38 tindak pidana. Namun, jumlahnya menyentuh angka 49 pada 2011, 49 pada tahun 2012, 60 tahun 2013, 61 pada tahun 2014, 62 pada tahun 2015, dan 99 kasus pada tahun 2016.
Dua tahun terakhir angka tersebut justru melonjak tajam tercatat sebanyak 123 tindak pidana korupsi. Pada tahun 2017 bahkan selama enam bulan pertama pada tahun 2018 hingga Juni mencapai 129 kasus.
Bukanlah sembarang orang yang terjerat kasus korupsi melainkan sosok berpengaruh dan figur masyarakat publik yang harusnya mereka amanah karena menjadi manusia pilihan yang di pilih.
Dari 731 orang yang tercatat melakukan tindak pidana korupsi, 196 di antaranya anggota DPR dan DPRD. sebanyak 22 orang menteri dan kepala lembaga- setingkat menteri. Sementara gubernur yang terjerat korupsi terhitung 14 orang, ada 72 walikota dan bupati. Pejabat setingkat dirjen, eselon i/ii/iii sejumlah 133 orang. Kemudian ada 18 orang hakim, 7 pengacara, 6 jaksa, dari korporasi ada 4 orang, swasta 181 orang.
Adapun profesi yang paling sedikit tersandung kpk berdasarkan data yang di olah kpk.go.id. adalah duta besar (satu orang) dan polisi (dua orang). Kagum dan hormat terhadap kalangan duta besar dan polisi yang profesinya paling bersih dari korupsi.
Angka pelanggaran diatas sebenarnya masih jauh lebih kecil dibanding jumlah aduan yang mencapai ribuan setiap tahun.
Data diatas tentu menyisakan luka dan tanda tanya yang mendalam, ada apa dengan negeriku ini, sedang dilanda apa merah putihku ini, adakah yang salah?
Apakah mereka enggan belajar dari pejabat sebelumnya yang sudah tertangkap! apa untungnya jadi koruptor? sudah wajib mengembalikan semua hasil korupsinya dimasukkan ke penjara, malu, miskin ! apakah tidak berfikir?
Apakah para pejabat itu mengira bahwa yang tertangkap kpk hanya yang bernasib kurang beruntung? karena masih banyak juga yang lolos dan aman- aman saja, apakah asumsi ini yang menggerakkan hasrat mereka untuk mencoba-coba korupsi?
Mungkin aneka ragam jawabannya. Namun tentu saja KPK akan mencari jurus sakti agar tak ada sekalipun yang akan di biarkan lolos. Tak ada yang boleh koruptor beruntung. Fenomena di luar menunjukan banyak pejabat setelah lengser mengira dirinya telah masuk zona aman dari jeratan hukum akibat korupsi. Akan tetapi, tetap saja mereka terseret meskipun telah tidak menjabat.
Sekarang pertanyaan buat rakyat (raja demokrasi). mengapa pula pejabat yang sudah pernah korupsi masih dipilih? mengapa partai kadernya yang paling banyak korup masih didukung?
Korupsi adalah budaya (Kjoncoroningrat) maka pemuda muhammadiyah secara nasional menyelenggarakan madrasah anti korupsi begitu gencar. Sebagai antitesa memfilter dan upaya memerangi (Dahnil Anzar. S) budaya harus di lawan dengan budaya, kebatilan dilawan dengan kebenaran.
Upaya demi upaya pernah dilakukan oleh kolega teman, tapi tetap saja gagal, menurut dia, ada catatan lain yang harus menjadi bahan renungan, karena bagaimanapun tidak hanya karena ketamakan pelaku belaka, bisa juga karena terpaksa dan dipaksa karena sistem yang mengharuskan.
baca opini lainnya : Korelasi Korupsi Politik dan Hukum di Negara Modern
Bagi yang tertangkap karena ketamakan tentu tidak ada ampun, tetapi yang terjadi karena dipaksa, harusnya ada sistem atau mekanisme yang bisa membuat mereka melakukan perlawanan, sehingga tidak harus melakukan tindakan tercela.
Benar bahwa penyuap dan yang disuap keduanya melanggar hukum. Akan tetapi, pemeras dan yang diperas seharusnya diperilakukan berbeda.
Bukan rahasia publik, adanya rumor bahwa kadang pejabat ditekan untuk memberikan uang tertentu agar kebijakannya disetujui legislatif. Maka muncullah istilah mafia anggaran atau mafia perizinan. untuk melancarkan itu, exsekutif terpaksa memberi uang pelicin.
Akan tetapi apapun alasannya, tetap memberi uang pelicin tetaplah salah, dan tidak dibenarkan. justru dari pada memberi uang pelicin, lebih baik sang pejabat bekerja sama dengan kpk untuk membongkar mafia anggaran.
Ada juga pengusaha swasta yang sudah memenuhi semua syarat dan prosedur dan aturan yang ditetapkan. akan tetapi, untuk mendapatkan izin harus menggunakan uang pelicin. jelas yang meminta uang itu tamak harta, yang memberi uang pelicinpun terpaksa karena tidak ada pilihan yang lain.
Kalau boleh memilih tentu tetap memberi tetapi dengan cara legal, tapi masalahnya tidak ada dimuka bumi ini, yang namanya suap itu illegal. Hingga penulis bermimpi membuat gerakan semesta melawan korupsi. Kita semua bisa menjadi agent kpk, duta anti korupsi.
Tidakkah dari pada menyuap pejabat, lebih baik bekerja sama dengan kpk untuk membongkar pejabat yang dengan sengaja menghambat perizinan karena menunggu uang suap?
Dari pada bekerja sama dengan koruptor untuk meluluskan sebuah urusan, lebih baik bekerja sama dengan kpk untuk membasmi koruptor yang menghambat perizinan atau persetujuaan (acc).
Intinya, koruptor harus di bumi hanguskan, dibasmi di lenyapkan, di miskinkan, dibuat jera, tidak boleh di fasilitasi, tak ada kemudahan baginya. Masih sangat banyak kerja kita untuk profesi bernama korupsi, betapapun sulitnya tak ada kata menyerah, sebagai bangsa.
Berbagai elemen bangsa harus terus semangat dan bekerja keras memberantasnya. adanya upaya hukum, memberikan hukuman lebih berat, sehingga korupsi selalu menjadi sebuah jejak kejahatan teramat hina dina yang tak boleh di anggap fenomena ini biasa-biasa saja. Kejahatan ini sungguh sangat amat luar biasa, kategori (extraordinary crime), maka upayanya pun, harus extra pula kerja kerasnya.
Inilah sesungguhnya common enemy (musuh bersama kita) , jangan pernah putus asa, kita sebagai bangsa, harapan menjadi bangsa yang bersih adil makmur, sejahtera, bukanlah hal yang instan, kita terus harus usahakan, salam merdeka dari korupsi!. Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajahan, perjuangan kalian lebih berat karena melawan bangsamu sendiri (Ir Soekarno)
*Oleh Ahmad Zia Khakim, S.H. (Kandidat Ketua Umum DPD IMM Jateng 2018-2020 dan Aktivis Majelis Hukum dan HAM PW Aisyiyah Jateng)